Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

DOM

Thursday, August 6, 2009 | 11:32 AM WIB Last Updated 2009-09-02T17:57:11Z
Untuk anak yang kehilangan orang tua, untuk istri yang ditinggal mati suami, dan untuk perawan-perawan yang kehilangan payudara, maka aku menulis tema ini. Sungguh, tulisan ini bukan untuk merekam luka lama, tidak pula untuk membangkitkan amarah maupun menggugat mereka yang sudah merenggut sebagian kebahagiaan orang kampungku, kampung kita dan kampung mereka. Justru aku menulis untuk mengingat, mengenang dan sekedar menyimpan sesuatu yang pernah terjadi, bahwa itu adalah sebuah luka. Luka yang sangat dalam.


Aku tak akan bercerita, bahwa pada 7 Agustus 1998 silam, seorang Jenderal TNI dari seberang, sebut saja namanya Wiranto, mencabut sebuah status yang lama tak ada orang berani mengotak-atiknya. Sebab, mempertanyakan status tersebut, ataupun bertanya tentang hukum yang berlaku, ganjarannya adalah kematian. Makanya, puluhan tahun warga kampungku, kampung kita dan kampung mereka bungkam. Tak pernah ada protes atas mayat-mayat yang ditembak sembarangan. Tak pernah ada demo yang penuh sorak-sorai bahwa mereka biadab, dan juga tak ada tokoh yang bernyali bernyanyi di media. Mereka tahu, bersuara adalah mengundang duka.

Aceh saat itu adalah Aceh yang sunyi, senyap dan sendiri. Tak ada yang peduli, berapa nyawa yang sudah melayang. Hanya yang sempat tercatat, puluhan ribu berkubang darah tanpa pengadilan, dan puluhan ribu lainnya hilang tanpa jejak, bahkan hingga sekarang. Aceh berkutat sendirian tanpa ada yang peduli. Beda ketika bencana dahsyat Tsunami memporak-porandakan daratan Aceh. Semua orang berduka, semua mata berkaca, dan tak henti-hentinya orang menawarkan bantuan, karena bakal banyak yang bisa dikorupsi. Duh, dua kondisi yang sangat-sangat jauh bertolak belakang.

Tak usah bertanya, apa artinya DOM? Karena jawaban yang kita terima adalah duka. Duka bukan hanya karena banyak tangis dan air mata yang ditumpahkan rakyat kita, melainkan karena pembawa duka hingga kini tak tersentuh hukum. Malah, sebagian mereka kini menjadi orang-orang yang kita puja. Kita malah begitu mendewakan mereka, padahal kita tahu, mereka adalah penyebab prahara di bumi Aceh tercinta.

Aku tak hendak menggugat dan mengajak kita semua menoleh ke belakang. Karena kita tak membangun satu prasasti pun untuk mengenang kematian saudara-saudara kita tersebut. Kita boleh saja mengaku hafal dengan Rumoh Geudong, Kampung Janda, Buket Tengkorak, Cot Panglima atau Rancong. Tapi, masihkah kita ingat apa yang terjadi di tempat-tempat tersebut belasan tahun silam? Masih bisakah kita menumpahkan air mata kini, saat kita begitu sejahtera?

Mungkin kita lupa dengan semua itu. Karena, ternyata damai yang tercipta kini lebih banyak menjanjikan kesenangan, ketimbang masa lalu yang suram itu. Tapi, tahukah kita bahwa sebagian kebahagiaan yang kita nikmati hari ini adalah karena kematian mereka. Mobil yang kita tumpangi hari ini maupun singgasana kekuasaan yang kita nikmati hari ini adalah karena dulu pernah ada orang yang rela mati demi sebuah martabat. “Lupa pada sejarah berarti kita sudah mati,” demikian orang-orang bijak pernah berkata.

Kini, mungkin, kita merasa sudah tenang, karena bisa menikmati damai dengan ceria. Tapi, siapa yang masih ingat bahwa damai hari ini, karena dulu pernah ada orang yang menderita: ditembak, dibunuh, dicincang, dicampakkan di pinggir jalan atau malah hilang tak tahu dimana letak makamnya. Mereka tak pernah menyesal jadi martil, karena kita hari ini bisa menikmati damai. Tapi, apakah kita hanya cukup menikmati damai, tanpa pernah ingat pada cita-cita mereka? Entahlah, semoga kita tak jadi bangsa pelupa. Semoga! (HA 070809)
×
Berita Terbaru Update