Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Wasiat

Monday, January 5, 2009 | 9:45 AM WIB Last Updated 2009-09-02T17:57:12Z
Kutulis warkah ini bukan karena aku sudah benci pada perjuangan tuan. Bukan pula karena aku tidak sepakat lagi untuk hudep beusare dan mate beusajan. Sengaja kutulis warkah ini, karena pengikut tuan sedang berembuk kembali di kota dingin dan sejuk Helsinki. Lewat warkah ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sudah lelah oleh-oleh janji-janji pengikut tuan. Bayangkan, pengikut tuan sampai bersumpah, bahwa jika partai yang dibentuk oleh pengikut tuan menang, gunung seulawah akan dipindahkan. Semua ketidakjelasan akan menjadi terang. Pengikut tuan sampai bertaruh, bahwa jika tahun 2013 tujuan itu tak tercapai, dia minta ‘alat vital’nya dipotong.

Terus terang, Tuan, aku ragu tentang semua mimpi yang tuan hembuskan. Aku menjadi tak semangat mengikuti petuah-petuah pengikut tuan, yang mencoba membius dengan sebuah optimisme. Sebab, sebelumnya aku sudah pernah termakannya. Ternyata, akhir dari optimisme tersebut seperti yang kusaksikan hari ini. Semakin hari, orang-orang semakin banyak membenci pengikut tuan. Semakin banyak yang berpaling.

Tuan, ketika aku bimbang, aku coba membuka kembali tulisan-tulisan yang pernah tuan tulis puluhan tahun silam. Kucoba menerjemahkan pikiran-pikiran tuan dalam kondisi yang terjadi hari ini. Tapi, sama sekali tak kutemukan hubungannya. Pikiran-pikiran tuan seperti tergantung, dan menjadi tak lagi aktual. Sepertinya, yang kusaksikan sudah jauh melenceng dari pesan tuan.

Aku pernah membaca salah satu dari bagian tulisan tuan. Tuan begitu bersemangat mengutip wasiat Nietzsche, untuk menanamkan semangat pada pengikut tuan. Tapi, kurasakan, pengikut tuan sama sekali tak mengingatnya, apalagi mengamalkannya.

“Kepadamu tidak kuajarkan kerja, tapi peperangan,
kepadamu tidak kuajarkan damai, tapi kemenangan.
Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang.”


Kalimat-kalimat tersebut, hingga kini masih tersimpan rapi di diary Tuan yang tidak selesai. Aku yakin, pengikut-pengikut tuan tak lagi membacanya. Mereka sibuk dengan rutinitas mencari lebih dari sekedar sesuap nasi. Katanya, perjuangan tanpa didukung modal adalah sama dengan bunuh diri. Aku jadi ragu, apakah ketika modal terkumpul sangat banyak, mereka masih peduli pada perjuangan yang pernah tuan gariskan? Bukankah mereka akan berfikir, “Untuk apalagi perjuangan, kita sudah sama-sama sejahtera. Perang, tak menjanjikan apa-apa, malah menghancurkan semua yang kita punya.”

Tuan, sebagai seorang yang mengagumi keberanian, kecerdasan dan sifat konsisten tuan, aku kecewa. Sebab, aku sangat yakin, bahwa tuan sama sekali tak meramalkan bahwa akhir dari cita-cita yang pernah tuan cetuskan akan menjadi seperti ini. Dalam beberapa penggalan tulisan tuan, yang dulu menjadi buku wajib yang harus dibaca pengikut tuan, aku sempat membaca bahwa tuan selalu menanamkan “udep mulia atau mati syahid.”

Hidup mulia yang tuan inginkan bukanlah bergelimangan dengan uang, jabatan atau memiliki istri yang cantik dan lebih dari satu. Hidup mulia yang tuan inginkan tak sekedar kemenangan, melainkan bagaimana negeri ini kembali tegak seperti ratusan tahun silam. Jika cita-cita itu tak mampu digapai, kata tuan, lebih baik mati syahid. Aku menangkap keseriusan dari kata-kata tuan. Sebab, seperti dulu pernah kudengar dari kaset-kaset ceramah tuan, bahwa orang seperti tuan lebih memilih mati seribu kali, daripada hidup dalam perintah orang, seperti hidup para budak. Entahlah, tuan, saya sendiri malas memikirkannya. Sebab, banyak ketidakbenaran dipertontonkan, dan aku jadi tak bersemangat.(HA 060109)
×
Berita Terbaru Update