Ketika saya memberitahu informasi yang dilansir salah satu media nasional, Jumat (3/7) bahwa pemerintah berniat membangun jalan bebas hambatan (tol) Banda Aceh-Medan, kawan saya langsung geleng-geleng kepala. Saya yang biasanya suka menebak, langsung menganalisa ekpresinya: keinginan tersebut menurutnya sekedar angen syuruga.
Jalan tol tersebut rencananya mulai dibangun pertengahan tahun 2010, dengan total dana Rp23 triliun atau hampir tiga kali lipat APBA 2009. Panjang jalan tersebut diperkirakan mencapai 400 kilometer dan merupakan bagian dari program jalan bebas hambatan di Sumatera yang dibangun oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Pembangunan jalan tersebut, secara otomatis mengharuskan Pemerintah Aceh melakukan pembebasan tanah. Nah, inilah repotnya. Soalnya, kita di Aceh punya pengalaman buruk soal pembebasan tanah. Sebut saja kasus pembebasan tanah untuk pembangunan jalan Banda Aceh-Calang, yang prosesnya berlarut-larut, dan banyak menuai masalah.
Meskipun untuk pembiayaan pembebasan jalan untuk tol Banda Aceh-Medan, Pemerintah Aceh melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) sudah mencantumkan pembiayaan untuk menalangi pembebasan tanah yang dilintasi jalur tersebut, kita takutkan juga akan menuai banyak masalah, dan prosesnya berlarut-larut. Rencananya, jalan itu akan memiliki lebar hingga 100 meter.
Sebenarnya, kita senang mendengar bakal ada jalan tol. Meski, di sisi lain kita pesimis. Karena, soal rencana membangun ini dan itu, kita sudah terlalu sering mendengarnya. Tapi, jangan tanya soal realisasi. Sebab, banyak rencana yang terbilang bagus dan spektakuler, sehingga berakhir hanya sebatas rencana doang. Itulah repotnya. Seolah, para perancang program ataupun pemimpin seperti mengetahui bahwa orang kita di sini senang dengan haba cet langet, dan merasa nyaman menikmati angen syurga yang tak henti-hentinya berhembus.
Kita sebut saja contohnya pembangunan jalur kereta api. Jika kita melintasi jalur timur, di beberapa tempat sudah terpasang rel kereta api lengkap, dan sebagian lainnya masih sebatas jalur saja, belum ada relnya. Melihat bakal ada jalur kereta api saja, kita boleh bangga dan senang. Bahwa nuansa seperti masa penjajahan Belanda (saat itu di Aceh sudah ada jalur kereta api) akan kembali terasa. Tapi, pertanyaan yang mungkin sulit kita jawab: kapan kereta api mulai beroperasi?
Kita juga pernah disuguhkan berita yang juga berhawa angen syurga, soal pesawat Air Aceh, yang sempat dilaunching beberapa waktu lalu. Bagaimana nasibnya sekarang? Kita tak tahu. Bisa jadi, karena terlalu jauh terbang, sehingga belum juga tiba di Aceh. Atau jangan-jangan nasib Air Aceh seperti anekdot seorang kawan. “Tau nggak kenapa pesawat di Blang Padang hingga kini belum juga terbang?” begitu tanyanya. Karena tahu kawan saya itu sedang ulok-ulok, saya juga menjawab lebih ulok lagi. “Mungkin pesawat itu belum cukup pramugari.” Menurutnya jawaban saya salah. “Yang benar, bukan karena nggak cukup pramugari, tapi mesinnya yang tidak mau hidup.”
Namun, terlepas itu ulok-ulok, jangan sampai nasib Air Aceh seperti itu.
Terlepas bagaimana kita menanggapi informasi pembangunan tol Aceh-Medan tersebut, minimal sudah ada niat baik untuk melancarkan transportasi dari Aceh-Medan atau sebaliknya. Tapi, pertanyaannya, apakah tol cukup mendesak sekarang?
Entahlah, saya jadi tak berselera menjawabnya, karena memang belakangan ini angen syurga semakin sering berhembus, apalagi lagi musim mau Pilpres. Kita semakin sejuk dan sudah pasti terbuai. Hom hai! (HA 040709)
Jalan tol tersebut rencananya mulai dibangun pertengahan tahun 2010, dengan total dana Rp23 triliun atau hampir tiga kali lipat APBA 2009. Panjang jalan tersebut diperkirakan mencapai 400 kilometer dan merupakan bagian dari program jalan bebas hambatan di Sumatera yang dibangun oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Pembangunan jalan tersebut, secara otomatis mengharuskan Pemerintah Aceh melakukan pembebasan tanah. Nah, inilah repotnya. Soalnya, kita di Aceh punya pengalaman buruk soal pembebasan tanah. Sebut saja kasus pembebasan tanah untuk pembangunan jalan Banda Aceh-Calang, yang prosesnya berlarut-larut, dan banyak menuai masalah.
Meskipun untuk pembiayaan pembebasan jalan untuk tol Banda Aceh-Medan, Pemerintah Aceh melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) sudah mencantumkan pembiayaan untuk menalangi pembebasan tanah yang dilintasi jalur tersebut, kita takutkan juga akan menuai banyak masalah, dan prosesnya berlarut-larut. Rencananya, jalan itu akan memiliki lebar hingga 100 meter.
Sebenarnya, kita senang mendengar bakal ada jalan tol. Meski, di sisi lain kita pesimis. Karena, soal rencana membangun ini dan itu, kita sudah terlalu sering mendengarnya. Tapi, jangan tanya soal realisasi. Sebab, banyak rencana yang terbilang bagus dan spektakuler, sehingga berakhir hanya sebatas rencana doang. Itulah repotnya. Seolah, para perancang program ataupun pemimpin seperti mengetahui bahwa orang kita di sini senang dengan haba cet langet, dan merasa nyaman menikmati angen syurga yang tak henti-hentinya berhembus.
Kita sebut saja contohnya pembangunan jalur kereta api. Jika kita melintasi jalur timur, di beberapa tempat sudah terpasang rel kereta api lengkap, dan sebagian lainnya masih sebatas jalur saja, belum ada relnya. Melihat bakal ada jalur kereta api saja, kita boleh bangga dan senang. Bahwa nuansa seperti masa penjajahan Belanda (saat itu di Aceh sudah ada jalur kereta api) akan kembali terasa. Tapi, pertanyaan yang mungkin sulit kita jawab: kapan kereta api mulai beroperasi?
Kita juga pernah disuguhkan berita yang juga berhawa angen syurga, soal pesawat Air Aceh, yang sempat dilaunching beberapa waktu lalu. Bagaimana nasibnya sekarang? Kita tak tahu. Bisa jadi, karena terlalu jauh terbang, sehingga belum juga tiba di Aceh. Atau jangan-jangan nasib Air Aceh seperti anekdot seorang kawan. “Tau nggak kenapa pesawat di Blang Padang hingga kini belum juga terbang?” begitu tanyanya. Karena tahu kawan saya itu sedang ulok-ulok, saya juga menjawab lebih ulok lagi. “Mungkin pesawat itu belum cukup pramugari.” Menurutnya jawaban saya salah. “Yang benar, bukan karena nggak cukup pramugari, tapi mesinnya yang tidak mau hidup.”
Namun, terlepas itu ulok-ulok, jangan sampai nasib Air Aceh seperti itu.
Terlepas bagaimana kita menanggapi informasi pembangunan tol Aceh-Medan tersebut, minimal sudah ada niat baik untuk melancarkan transportasi dari Aceh-Medan atau sebaliknya. Tapi, pertanyaannya, apakah tol cukup mendesak sekarang?
Entahlah, saya jadi tak berselera menjawabnya, karena memang belakangan ini angen syurga semakin sering berhembus, apalagi lagi musim mau Pilpres. Kita semakin sejuk dan sudah pasti terbuai. Hom hai! (HA 040709)