Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Nessen dan Nurani Seorang Jurnalis

Thursday, March 13, 2008 | 2:46 AM WIB Last Updated 2009-09-02T17:57:16Z
Oleh Taufik Al Mubarak

Hari itu di tahun 2002, seorang bule singgah di Kantor Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), di kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Postur tubuhnya tinggi seperti rata-rata pria bule lainnya. Hanya body-nya yang sedikit kurus. Dia datang dengan tas ransel lengkap dengan peralatan kerjanya seperti camera dan handycam. Wajahnya kelihatan sangat lelah. Dia datang bersama dengan Shadia Marhaban, aktivis SIRA yang bertugas sebagai internasional affair. Kehadiran dia dijamu seperti tamu-tamu lainnya yang pernah datang ke kantor SIRA.


Di kantor SIRA tak henti-hentinya dia memandang poster, gambar dan tulisan-tulisan yang ditempel di dinding kantor. Kamera di tangannya tak henti-hentinya memotret. Dia seperti hendak mengabadikan kondisi kantor lembaga yang memperjuangkan referendum untuk Aceh itu.

Tapi, kedatangannya hari itu ke kantor SIRA bukan semata-mata untuk istirahat dari perjalanan jauh, melainkan juga hendak memperlihatkan hasil liputannya di lapangan. Ya…dia dan Shadia baru saja pulang dari Cot Trieng. Aktivis SIRA begitu mendengar Cot Trieng disebut tentu saja penasaran. Soalnya, saat itu Cot Trieng sedang dikepung oleh ribuan pasukan TNI. Tak sembarang orang orang bisa masuk ke sana. Lalu, ada orang bilang baru saja pulang dari Cot Trieng. Tentu saja aneh.

Lalu keduanya bercerita bagaimana masuk ke Cot Trieng. Bambang Darmono, yang saat itu sebagai Panglima Komandan Operasi TNI (Pang Koops TNI) berjasa membuka akses mereka ke Cot Trieng. Meski mereka sempat berbohong. Soalnya, William datang bukan sendiri ke Cot Trieng, tapi bersama Shadia Marhaban. Status William tidak begitu bermasalah, karena jurnalis. Warga Amerika lagi. Sementara Shadia Marhaban, dia bekerja untuk SIRA. Kehadiran dia di sana tentu saja berbahaya, tak hanya untuk dia tapi juga William. Tapi, saat memperkenalkan diri, Shadia mengaku bernama Kristin dari Timor Barat (Papua). Tak hanya itu, Shadia sempat mengaku keturunan Portugal.

Ternyata berhasil. Malah mereka diperlakukan sangat istimewa karena diajak keliling oleh Bambang Darmono dengan Helikopter TNI untuk melihat posisi-posisi TNI di Hutan-Hutan Aceh Utara dan Aceh Timur. Mereka terlihat sangat akrab. Sesekali bahkan bercanda. Semua itu direkam oleh Nessen. Termasuk kondisi pasukan TNI di sebuah wilayah rahasia yang sedang kelaparan karena telat datang logistic. Begitu helicopter Bambang Darmono datang, anggota TNI berlarian berhamburan berebutan mengambil logistic yang baru saja diturunkan dari Helikopter.

Pemandangan itu terlihat dari hasil liputan Nessen dalam bentuk Film. Dia sempat memutarnya di Kantor SIRA dengan meminta agar film-nya tidak ada yang membocorkan dulu, karena bisa berbahaya untuk keselamatan dirinya dan juga Shadia.

Itulah William Nessen, seorang wartawan freelance Koran San Fransico Cronicle, kontributor untuk The Boston Globe, The Sydney Morning Herald dan Koran Inggris The Independent. Dia sangat dekat dengan para aktivis Aceh dan pejuang GAM, seperti Irwandi Yusuf, Sofyan Dawood, Muzakkir Manaf, Cut Nur Asikin (alm), Muhammad Nazar, Shadia, Musliadi (alm) dan lain-lain.

Kisah dengan Musliadi bahkan banyak direkam dalam hasil liputannya. Nessen bahkan sampai menangis ketika mendengar Musliadi diculik oleh SGI (Satuan Gabung Intelijen) di kantornya, KAGEMPAR (Koalisi Gerakan saat sedang berbuka puasa akhir November 2002, beberapa Minggu sebelum CoHA ditandatangani. Tak biasanya Nessen sesibuk itu. Dia mencari informasi tentang keberadaan Musliadi ke berbagai pihak termasuk Polda, Kodam dan Koops TNI. Informasi yang didapat sangat tidak memuaskannya.

Nessen baru bisa melihat Musliadi tiga hari kemudian. Tapi Musliadi sudah tidak bernyawa. Mayatnya ditemukan di Lembah Seulawah di dalam Sungai. Nessen sama sekali tak percaya kalau Musliadi sudah meninggal. Karena belum lama dia baru saja bertemu dengannya. Bahkan, Musliadi berjasa membantu proses masuknya dia dalam Islam dan menjadi saksi nikahnya dengan Shadia.

Di pemakaman Musliadi di Seunapet, Lambaro, Nessen tak henti-hentinya mengabadikan proses pemakaman Musliadi. Bahkan dia ikut memegang salah satu bagian dari keranda, meski tangan satunya lagi memegang kamera. Sejak dari pemandingan sampai pemakaman, tak pernah absent dari bidikan kamera Nessen. Baginya, Musliadi tak hanya sebagai teman, tapi juga saudara. Dalam satu film dokumenternya, Nessen menyebut Musliadi sebagai temannya, “Musliadi…my friend from Aceh”. Itulah jiwa kemanusiaannya sebagai seorang jurnalis.

sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, Rabu 12 Februari 2008
×
Berita Terbaru Update