Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menguji Mr. P (Bagian Pertama)

Saturday, May 30, 2009 | 7:00 AM WIB Last Updated 2009-09-02T17:57:12Z
Sebagai pendukung aku wajar shock ketika MU jadi bulan-bulanan Barcelona saat laga final Liga Champions di Olimpico, Roma, Kamis (28/5) dinihari. Malah, sejak MU kalah 1-0 pada babak pertama, aku bengong dan tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tak bersemangat. Rokok A Mild tak henti-hentinya aku hisap, sampai-sampai kawan di sampingku ngomel, “Cerutu pun tak enak lagi kalo dihisap.” Aku tetap diam.

Pulang dari nonton bola tersebut, aku jatuh sakit. Badanku panas dan langsung tertidur. Ketika bangun sudah agak sore, kepalaku pusing, dan meminta seorang kawan memberitahu ke kantor bahwa aku tak masuk kerja, karena sakit. Seorang kawan di kantor, bahkan sampai menulis posting di blognya.

Daripada tidak melakukan apa-apa, aku kemudian menulis kisah saat pergi ke Singapore, beberapa waktu lalu dengan Hp. Karena belakangan aku jarang menulis, sehingga blog sudah beberapa hari dibiarkan kosong tak terisi.

Tanggal 1 Mei, aku dan seorang kawan, namanya Teuku Irwani, pergi ke Singapore. Bagi kami berdua, kunjungan ke negeri Singa tersebut adalah yang pertama kali. Meski kawan aku itu kuliah di Malaysia, namun belum sekalipun dia pergi ke sana, apalagi untuk berlibur. Aku sendiri sudah jauh hari merencanakannya jika sudah tiba di Malaysia, selain ke Thailand. Jadilah kami berangkat dengan pengetahuan tentang Singapore yang sama-sama nol.

Sejak tanggal 29 April kami memesan tiket kereta api di stasiun KL Sentral. Sengaja kami memilih kereta api, bukan bus atau pesawat, karena ingin menikmati perjalanan termasuk melihat suasana di sepanjang jalur kereta api. Selain itu harga tiket juga murah, hanya RM 66 untuk pulang-pergi. Namun, semua kursi sudah penuh, kami dapat jatah berangkat tanggal 1 Mei, jam 14.40.

Jam 1 lewat kami sudah berada di Stasiun Kajang. Di tiket tertera jam 14.40 kami berangkat. Karena masih lama, kami memilih mengisi perut dulu di warung milik orang India, tak jauh dari stasiun. Karena tak makan dari pagi, aku juga makan sedikit, meski tak begitu suka makanan mereka. Karena selama di Malaysia aku lebih sering memesan tomyam yang sama dengan kuah asam keueng. Selesai di situ, kami kembali ke stasiun, dan menunggu kereta yang akan membawa kami ke Singapure.
Tepat pukul 14.40, kereta yang ditunggu pun tiba. Aku dan teman mencari tempat duduk seperti tertera di tiket. "Tanyoe ka jadeh tajak u Singapore," ucap kawan aku. Aku sendiri larut dalam bayangan tentang kota Singapore. "Kita belum ke Singapore. Setelah paspor kita ada cap Singapore baru boleh bilang sudah ke Singapore," hanya itu yang aku jawab.

Kemudian kami pun larut dalam pikiran masing-masing. Sesekali aku tersenyum bercampur heran, "Benarkah aku ke singapore?" gumam aku dalam hati. Sesekali aku mencubit lengan sendiri, untuk membuktikan bahwa aku sedang tak bermimpi. Dan terasa sakit setelah kucubit. Berarti benar aku sedang tak bermimpi. Karena tak yakin, aku minta kawan untuk mencubitnya, dan memang benar ada rasa sakit.

Sepanjang perjalanan, aku hanya melihat perkebunan sawit yang membentang luas. Sepintas jalur kereta api itu mirip dengan jalan di Tamiang yang dipenuhi kebun sawit. Ternyata, masih banyak areal perkampungan dan minim penghuni. Sebagiannya malah sedang berbenah, dan sejumlah bangunan pencakar langit sedang dibangun.

Perjalanan 9 jam ke Singapore tersebut sangat aku nikmati. Banyak daerah yang bisa dilihat meski hanya melalui jendela kereta api. Tapi di situlah letak indahnya. Setiap tiba di stasiun, kereta selalu berhenti. Ada yang turun dan banyak penumpang baru yang naik. Kondisi tersebut mengingatkan saya pada perjalanan dari stasiun Pasar Turi Surabaya ke Jakarta yang juga via kereta 2002 silam. Bedanya, jika kereta api dari Surabaya setiap berhenti tak hanya penumpang baru yang bertambah, melainkan juga pedagang. Selain itu, karena penumpang yang selalu bertukar, bau di dalam kereta juga bervariasi. Umumnya memang tak sedap. Kita tak bisa melakukan protes, karena salah sendiri pesan tiket kelas ekonomi.

Ketika tiba di Johor sekitar jam 20 lewat, kereta yang membawa kami berhenti, karena ada pemeriksaan imigrasi dari Malaysia. Hatiku sempat deg-degan juga. Karena setiap bepergian, tempat yang selaku aku benci adalah imigrasi. Mereka suka bertanya aneh-aneh, dan merasa bahwa Negara mereka adalah hebat. Dan menganggap pendatang seperti budak yang mencari pekerjaan di negeri mereka. Namun, rasa deg-degan langsung hilang, karena yang memeriksa parporku adalah seorang cewek melayu yang cantik dengan kulit hitam manis. Suaranya juga sopan. Sambil dia membolak-bolak paspor, aku asyik memandang wajah anggunnya, dan duh betapa cantiknya anak melayu itu. “Kartu imigrasi mana?” tanyanya kemudian. Aku bengong. “Kartu imigrasi apalagi?” tanyaku dalam hati. Namun, dalam sekejab, aku teringat, bahwa ada kartu yang sudah aku pisahkan dari paspor. Kebetulan saja, kartu itu masih ada di tas, kalau tidak ada pasti berabe. Pemeriksaan itu tak berlangsung lama, dan tak perlu memberi cap di paspor, hanya menggunakan tulisan tangan.

Setelah selesai semuanya, kereta api kemudian melanjutkan perjalanan. Namun, menurut petugas di kereta api, 10 menit lagi, kereta akan berhenti karena ada pemeriksaan dari imigrasi Singapore. Semua penumpang diminta turun. Tak lama kemudian, kereta api pun berhenti di stasiun Johor Bahru. Semua penumpang turun dan masuk ke imigrasi Singapore. Aku mencari loket untuk passport internasional dan mencari yang ada ceweknya. Karena biasanya mereka lebih manusia dan tak banyak neko-neko.
Aku sempat berbisik sama kawan, bahwa perasaanku tak enak. Dia diam saja. (bersambung)
×
Berita Terbaru Update