Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jangan Buka Lagi Lembaran Konflik

Tuesday, August 19, 2008 | 10:04 AM WIB Last Updated 2009-09-02T17:57:14Z
Penembakan anggota Kodim 0112 Sabang, Praka Suwandi, pada Sabtu (16/8) lalu, seperti membuka kembali lembaran kekerasan bersenjata di Aceh. Penembakan yang terjadi sehari sebelum HUT RI ke-63 tersebut, seperti menggiring kembali Aceh ke gelanggang konflik. Untung saja Pangdam IM Mayjen TNI Soenarko, menyikapi penembakan anggota TNI tersebut secara arif. “Kita serahkan saja kepada polisi untuk mengejar pelaku penembakan anggota Kodim Sabang,” ujarnya usai peringatan HUT RI di Lapangan Blang Padang.

Pernyataan Pangdam tersebut, patut diberikan apreasiasi, bahwa pihak TNI tidak ingin bertindak ceroboh atas penembakan anggotanya. Sebab, jika TNI bertindak sendirian, tanpa menyerahkan proses hukum kepada polisi, akibatnya bisa bertambah runyam. Untuk itu, penyerahan penanganan kasus tersebut sudah tepat. Biarlah pihak polisi yang mengungkap siapa pelaku penembakan yang sebenarnya.

Pernyataan yang bernada sejuk juga diungkapkan Walikota Sabang, Munawarliza Zainal, yang menyebutkan mantan GAM tidak lagi memiliki senjata api. Munawar meminta agar setiap terjadi insiden bersenjata tidak langsung menuding GAM sebagai pelakunya. “Jadi, setiap ada insiden bersenjata jangan langsung dikait-kaitkan dengan KPA atau GAM,” pinta Munawar.

Kita sangat mendukung pernyataan Walikota Sabang ini yang berlatarbelakang GAM. Apalagi, Munawarliza merupakan salah satu petinggi GAM yang juga terlibat dalam proses MoU Helsinki. Sebab, selama ini, ketika ada aksi kekerasaan, nama GAM selalu dibawa. Padahal, sejak MoU ditandangani, GAM sudah ikhlas kembali ke pangkuan NKRI. GAM sudah menanggalkan perjuangan bersenjata, dan lebih memilih perjuangan secara politik untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Artinya, ketika masih ada senjata yang menyalak, tidak sepatutnya tudingan pelaku dialamatkan kepada GAM.

Apalagi, seperti disampaikan Munawarliza, bahwa tidak mungkin anggota GAM di Sabang melakukan penembakan terhadap TNI, karena saat konflik dulu, Sabang nyaris sepi dari suara letusan senjata. Jadi, sangat tidak masuk akal jika pelaku penembakan tersebut adalah anggota GAM. Makanya, siapa pelaku yang sebenarnya, biar pihak polisi yang menyimpulkannya. Sebab, siapa tahu, penembakan tersebut terkait masalah pribadi, dan tidak ada hubungannya dengan permusuhan TNI-GAM seperti di masa lalu.

Apa yang disampaikan Walikota Sabang, sebagai bentuk penegasan, bahwa pascaperdamaian, GAM sudah tidak memiliki lagi senjata. Hal tersebut sudah dibuktikan saat proses decommissioning (pemusnahan) senjata GAM sejumlah 840 unit oleh Aceh Monitoring Mission (AMM). Pasca decommissioning senjata GAM, setiap kekerasan yang terjadi di Aceh, akan dianggap sebagai kelompok kriminal, dan harus dianggap musuh bersama.

Untuk itu kita berharap, trust building para pihak harus selalu dijaga. Karena inti perdamaian terletak pada keinginan masing-masing pihak untuk saling mempercayai satu sama lain. Pun begitu kita berharap, tidak ada pihak-pihak yang mencoba memancing kembali Aceh ke arena konflik. Kita harus menjaga perdamaian yang sudah terbangun di Aceh dengan sekuat tenaga. Kita harus mencegah pihak-pihak yang tidak ingin perdamaian Aceh permanen mengoyak lembaran damai yang sudah ditorehkan di Helsinki, tiga tahun silam.

Meski upaya ke arah itu sangat sulit, sebab masih ada pihak-pihak yang menginginkan Aceh kembali banjir darah. Seperti dilansir Harian ini kemarin, saat perayaan HUT RI ke-63, di Desa Babah Krueng, Sawang, Aceh Utara, bendera Gerakan Aceh Merdeka kembali dikibarkan. Tindakan ini dapat disebut sebagai upaya memanasi kondisi Aceh untuk bergolak. Padahal, sebagaimana sudah disepakati, pascaperdamaian, bendera GAM tidak boleh dikibarkan lagi. Tindakan-tindakan ini yang harus diakhiri jika kita sudah bersepakat bahwa perdamaian Aceh adalah segala-galanya. Untuk itu, kita harus selalu waspada, bahwa masih ada pihak-pihak di Aceh yang tidak menginginkan masyarakat hidup tenang dan damai.

Karenanya, kita berharap, upaya penggiringan Aceh ke masa konflik harus dilawan. Kita tidak ingin lembaran konflik yang sudah tiga tahun ditutup, dibuka kembali. Sangat besar harga yang harus dibayar untuk sebuah konflik bersenjata. Ini yang harus diingat oleh masing-masing pihak, apalagi kita sudah bersepakat untuk berdamai, di mana tidak boleh lagi senjata menyalak. (HA 200808)



×
Berita Terbaru Update